Mantenku

Mantenku

Minggu, 22 April 2012

Kisah Filza, Semangatku.......

 


Tanggal 1 Februari 2011, saya ingat sekali pada hari itu Filza mulai panas. Saya dan suami membeli obat turun panas. Namun kami akhirnya membawa dia ke seorang dokter umum di dekat rumah. Beliau mengatakan bahwa dahak Filza sangat banyak, dan bila dia nanti sesak nafas harus di bawa ke rumah sakit. Kami diberi sebotol antibiotik dan diminta meneruskan obat turun panas yang sudah kami beli. Sampai dirumah, langsung kami berikan obat itu. Akan tetapi, panas Filza belum turun dan masih saja tinggi (mencapai 38,9 derajat).

Hari berikutnya kami bawa Filza ke sebuah rumah sakit swasta yang lumayan terkenal di kota Solo. Sampai di IGD, Filza langsung diperiksa oleh dokter jaga di sana. Dia berkata meski batuk pilek tapi nanti supaya tidak menjalar ke paru-paru, sebaiknya anak kami di rawat inap saja. Suhu Filza ketika diperiksa di rumah sakit adalah 39,3 derajat. Kami diminta menandatangani surat permintaan dokter, dan dokter yang kami pilih adalah dokter yang sama yang menangani Filza saat kelahirannya di RS ini.

Hari pertama Filza dirawat di RS, Dokter Spesialis Anak (DSA)  melakukan visit. Dia memeriksa paru-paru Filza dengan stethoscope dan berkata,  “Paru-parunya bersih tuh”. Alangkah lega hati kami mengingat dokter IGD sudah memperingatkan. Hari kedua DSA visit, katanya paru-parunya masih bersih. Tapi kami heran kenapa panas Filza tidak juga turun. Akhirnya hari ketiga DSA meminta paru-paru Filza diperiksa dengan Rontgen, hasilnya ternyata dia terkena Bronchopneumonia. Betapa kaget dan sedih hati kami.

Kami pun berusaha konsentrasi pada pengobatan anak kami. Di sana, Filza diberi obat panas, suntikan antibiotik, dan terapi nebulizer. Filza juga dinyatakan anemia dengan hb 7,3 pada tes darah pertama dan 6 pada tes kedua. Dia pun akhirnya mendapat tranfusi darah Pada waktu itu panasnya masih naik turun dan kadang dia menangis seperti kesakitan. Semua kami rasa berjalan dengan sangat lancar hingga panas Filza turun.

Pada hari kelima di RS, alat infus Filza dilepas. Kami sangat lega karena DSA mengatakan kira-kira 2 hari lagi Filza bisa dibawa pulang. Saya  sangat senang karena bisa merawat dia tanpa gangguan alat infus lagi. Siangnya dia diterapi nebulizer lagi, setelah itu tidur dalam waktu yang agak lama.

Pada saat itulah suatu yang tidak biasa terjadi. Biasanya Filza ketika bangun tidur pasti menangis. Tapi tidak hari itu, dia diam saja saat bangun. Saya memeriksa popoknya, ternyata dia buang air besar. Biasanya saat dibersihkan, Filza menangis, tapi kenapa dia tidak menagis? Kami mulai curiga. Suami saya membawa Filza ke counter perawat. Perawat memasang oksigen di hidung Filza dan mengatakan bahwa dia tidak apa-apa. Dia meminta aku menyusui Filza, lagi-lagi Filza tidak merespon. Kami panik sekali. Bagi kami ini adalah “something unusual” sesuatu yang tidak biasa. 

Perawat berinisiatif memasang infus kembali. Benar saja apa yang aku khawatirkan, Filza pun tak menangis ketika jarum infus menusuk tangan mungilnya. Kami  mendesak perawat agar Filza dibawa ke ICU. Sayangnya perawat itu kurang cekatan. Bahkan dalam kondisi genting itu dia malah berkata “Tapi disana perharinya 500 ribu.” 

Para perawat disana memanggil dokter jaga IGD untuk memeriksanya karena itu pas sore hari, DSA sedang tidak di tempat. 

“Ini tidak apa-apa” kata dokter IGD yang memeriksa. 

“Tapi kok nggak nangis?” kami bertanya. 

“Apa mau dibuat nangis?” katanya dengan sedikit tersenyum. Kemudian dia memainkan kaki Filza. Filza tetap tidak menangis. Kami makin mendesak perawat untuk segera membawa Filza ke ICU. 

Dengan diantar seorang perawat laki-laki, akhirnya Filza dibawa ke ruang PICU. Sampai disana saya melihat kaki nya mulai kebiru-biruan dan bilang pada perawat tadi. 

“Ini enggak apa-apa. Kalau kejang itu birunya biru terong,” kata perawat tersebut. 

Beberapa menit kemudian, DSA yang sudah ditelpon datang dan memeriksa Filza. 

"Ini sesak," kata DSA. 

Sejurus kemudian, Filza pun kejang dan ditangani oleh perawat PICU. Dia dipasangi entah beberapa alat di dadanya dan dihubungkan dengan monitor. Disitu semua organ vital normal. Tingkat kesadarannya 99%, sementara tingkat kesadaran ketika kejang turun menjadi 74%. Filza juga dipasangi NGT (nasogastric tube) untuk membantunya minum susu.

Selama sore itu, sampai malam, sampai pagi, sampai sore lagi, Filza beberapa kali kejang. Bahkan suhunya yang tadinya sudah turun, jadi naik lagi. Karena banyak lendir di saluran pernafasannya, dia tetap di nebul dan di sedot dengan suction. Filza juga menjalani terapi sinar dan clapping. Selama itupun saya tidak menyusuinya; asi hanya diperas dan diminumkan lewat NGT. 

Saya diberitahu oleh seorang perawat bahwa kalau bayi kejang mungkin ada sesuatu yang tidak wajar di kepalanya. Seorang perawat memanggil saya untuk meminta persetujuan Filza akan dilakukan tindakan LP (Lumbar Puncture). LP adalah metode dimana cairan otak diambil melalui sumsum tulang belakang. Dalam hati rasanya saya ingin menangis. Apakah sakit anak saya sampai separah itu? Dia menambahkan hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah kuman dan bakteri dari paru-paru sudah menyebar ke otak. Aku tidak setuju saat itu dan minta supaya dia menjalani CT scan saja. Ternyata DSA juga setuju denganku. Akhirnya Filza menjalani CT scan.

Hari berikutnya hasil CT scan sudah dikirim ke PICU. Hasilnya sungguh mengagetkan. Filza perdarahan otak. Aku pun ditanya oleh DSA apakah pernah trauma kepala seperti jatuh atau digoyang-goyang dengan ekstrim. Setahu saya tidak pernah, setidaknya begitulah selama yang saya tahu.

Selama 3 hari dia diterapi dengan suntikan vitamin Neo K. DSA memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter bedah syaraf (DBS). Kami setuju saja, memang kami ingin yang terbaik untuk Filza. 

DBS datang dan memeriksa riwayat medis Filza. Menurutnya dalam kondisi seperti ini, yaitu suhu naik turun, demam hanya di kepala, Filza lebih baik dioperasi. Pertama, untuk mengeluarkan cairan di otak yang membuatnya kejang itu. Kedua, utuk memeriksa apakah cairan itu sudah mengandung bakteri. Bisa juga dengan opsi yang lain tanpa operasi, tapi kemungkinan berhasilnya tipis. Betapa sulitnya bagi kami untuk memutuskan menyetujui atau tidak. Setelah berkonsultasi dengan keluarga dan beberapa orang medis, kami menyetujui Filza dioperasi dipasang selang non-permanen.

Operasi berjalan dengan lancar. DSA dan DBS saling bekerja sama dalam operasi ini. Satu jam berikutnya kami dipanggil. DBS menjelaskan bahwa yang tadinya berupa cairan di gambar, ketika dibuka ternyata sudah menjadi nanah memadat. Jadi otaknya memang sudah meradang/terinfeksi. Lapisan otak Filza sudah menebal dengan adanya nanah tadi. Cairan yang keluar pun sedikit sekali. 


Filza setelah operasi pertama

DBS juga mengatakan, ada kemungkinan suatu saat nanti lapisan otak yang menebal tadi akan saling melengket satu sama lain dan menyumbat penyerapan CSF (cerebrospinal fluid, cairan otak). Kami sedikit kecewa dengan hasil itu, jadi operasi ini tiada gunanya. 

Namun malam harinya saya masuk ke kamar Filza dan melihat ada cairan yang keluar, semakin banyak. Alhamdulillah dengan ijin Allah selang itu ada cairannya. 

Setelah 4 hari selang itu dilepas dan cairannya dikirim ke salah satu lab swasta di Solo untuk diteliti dengan metode kultur jaringan. Dengan keluarnya cairan itu, kami lega. Filza sudah tidak kejang lagi. 

Langkah selanjutnya adalah terapi ME (Meningoencephalistis / radang otak) dengan cara disuntik antibiotik dosis tinggi dengan uji klinis. Hal ini dikarenakan kultur jaringan yang dilakukan tidak tumbuh meski infeksi terjadi 96% dari cairan itu. Kata DSA kemungkinan disebabkan sebelum di kultur, Filza udah disuntik antibiotik.

Beberapa kali suntikan antibiotik harus diganti dengan antibiotik lain karena panas Filza belum turun. Akhirnya dengan kombinasi suntikan Ceftri dan Mikasin panas Filza turun, kami pun boleh merawatnya di bangsal. 

Tulang belakang Filza agak melengkung ke belakang karena ketika dia merasakan sakit Meningitisnya tentunya bagian ini juga terasa sakit. DSA memanggil tenaga fisioterapi untuk membantu meluruskan tulang ini lagi dan merangsang tumbuh kembang Filza. Selama kurang lebih 2 minggu kami di bangsal, semua terasa begitu lancar sampai suatu hari, dia menunjukkan gejala yang lain.

Filza menunjukkan gejala lain yaitu mendelik ke bawah. Ada semacam “sunset phenomena” di matanya. Awalnya saya tidak curiga, tapi hal ini menjadi bertambah intensitasnya saya mulai “alerted”. 


Filza menunjukkan gejalan sun-setting

Kami bertanya pada DSA apakah perlu dia di CT scan ulang. Katanya tidak perlu karena apabila ada sesuatu yang lain toh tidak akan diberi tindakan lagi. Tentang matanya yang sun-setting, dia mengatakan kalau itu adalah gejala sisa dari radang otak. 

Beruntung beberapa hari kemudian sang DBS berkunjung. DBS ini memang dokter tamu dari RS negeri jadi tidak tiap hari visit. Saya  menanyakan tentang gejala di matanya. Beliau mengatakan kemungkinan ada tekanan di otaknya dan meminta agar dia di foto scan lagi. Ah, ada apa lagi ini? Tanyaku dalam hati. 

Setelah CT scan bisa dilihat hasilnya, kami tak kalah kagetnya dengan hasil CT scan pertama. DBS menyatakan bahwa rongga ventrikel Filza melebar. Rongga ini berisi cairan dan dinamakan Hydrocephalus. Dia harus dioperasi “shunting” yaitu pemasangan selang lintasan dari otak ke rongga perut untuk mengalirkan cairan. Selang yang dipakai adalah buatan India dengan harga 1,5 juta. Selang itu permanen seumur hidup. Jadi, kemungkinan apa yang dikatakan DBS pada operasi pertama bahwa mungkin akan terjadi penyumbatan itu sudah terjadi, kataku dalam hati.

Pada operasi kedua ini rasanya hati kami lebih terpukul. Bagaimana kami  membayangkan Filza akan hidup dengan selang seumur hidupnya? Sampai kapan dia bisa bertahan? Sampai kini jarum plug suntikan sudah dipindah-pindah sampai semua tangan dan kakinya penuh dengan bekas luka, sampai kapan? Masih banyak lagi kekhawatiran lainnya. Kami menelepon banyak orang termasuk anggota keluarga yag berprofesi sebagai dokter. 

Dengan berbekal mobile internet saya pun mencari artikel tentang “bayi-bayi yang mati”. Setelah membaca bahwa tiap bayi yang mati akan masuk surga dan bahkan bisa membantu orang tuanya untuk masuk surga, saya sedikit lega. Berarti disini maupun disana hidup Filza tidak sia-sia, Allah tetap menyayanginya. 

Kami akhirnya menyetujui operasi shunt itu. Aku sudah bertekad untuk mengikhlaskan apa yang terjadi. Aku Cuma bisa berdoa “Ya Allah, ini Filza anak kami. Kami menyayanginya sepenuh hati. Tapi jika Engkau lebih menyayanginya, kami ikhlas.”

Pada hari yang sama itu, di RS itu, satu bayi dengan sakit yang sama persis dengan penyakit Filza meninggal dunia. Tentu saja hal tsb membuat kami semakin takut dan khawatir. Belakangan kami tahu bahwa memang riwayat bayi tersebut tidak bagus. Bayi itu tidak di vaksin, anti susu sapi, dan jika sakit tidak segera ke dokter. Sampai beberapa waktu bayi itu koma.


Filza setelah operasi kedua

Alhamdulillah. Dengan ijin Allah, operasi berjalan dengan lancar. Seakan tak percaya kami  memandang Filza masih hidup. Ada 2 jahitan, di kepala bagian kiri dan di perut. Entah bagaimana selang VP shunt ini di masukkan sehingga  hanya meninggalkan 2 luka jahitan. 

Filza dibawa ke PICU lagi. Meski dipasang alat2 seperti dulu, tapi kali ini Filza tampak kuat dan sadar 100%. Sesudah 3 hari kami diijinkan pindah ke bangsal lagi. Filza boleh digendong. Dalam posisi ini ubun-ubunnya berdenyut dan sedikit “legok” tidak tegang seperti semula. Hal ini bagus, kata DBS, jadi selang itu bekerja dengan baik dan lancar alirannya.

Pada hari ke 8, jahitan di kepala Filza diambil. Pada hari itu pun 12 Maret 2011, dia dinyatakan boleh pulang. Perjalanan panjang ini, ternyata kami sudah 1,5 bulan berada di RS. 

Sampai sekarang Filza sehat dan masih menjalani kontrol ke 3 dokter: DSA, DBS, dan dokter THT. Dia juga rutin di jadwal fisioterapi untuk membantu tumbuh kembangnya. Alhamdulillah tidak pernah terjadi masalah, jika pun dia kontrol dokter itu hanya karena untuk memantau saja.


Filza, sudah sehat

Di usianya yang sudah 16 bulan ini Filza sekarang sehat tidak berbeda dengan bayi lainnya dan kami orangtuanya tiada henti terus berharap dia akan selalu sehat sama dengan orang lain. Semoga cobaan yang sempat menghampiri kami bisa menghapus dosa dan kesalahan kami. Aamin aamiin ya rabbal ‘alamin.

“Hasbunallah wa ni’mal wakiil 'alallahi tawakkalnaa”

Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Hanya kepada Allah kami bertawakal."


--------------------------------------------------------------------
Update 24 Juli 2020

Bagaimana kabar Filza sekarang? Alhamdulillah dia baik-baik saja. Bagaimana kabar selang VP shuntnya? Alhamdulillah masih terpasang dan baik juga. 


Filza sekarang sudah kelas 4 di SD Islam Al Fattah Surakarta. Dia sudah bisa membaca dan menulis. Dia sudah bisa mengaji. Dia sudah bisa mengunduh permainan dari playstore. Dia juga sudah bisa menonton YouTube sendiri.

Bagaimana dengan prestasinya? Kami sangat bersyukur. Kami memang tidak bisa banyak menuntut. Tentunya anak yang otaknya pernah dioperasi berbeda dengan anak yang otaknya belum pernah dioperasi. Kami selalu mendoakan yang terbaik untuknya. 

Operasi pertama meninggalkan bekas tulang tengkorak yang berlubang. Kami merencanakan operasi selanjutnya untuk memasang tulang buatan untuk menutup lubang tersebut. Tetapi kapan kami siap? Kami sendiri belum tahu.

Filza mempunyai cita-cita ingin menjadi dokter. Pembaca yang budiman, mohon bantu aminkan ya.