Mantenku

Mantenku

Kamis, 23 Juli 2020

Aku akan Menemukan Kelemahanmu

[Kisah fiksi dari sudut pandang antagonis]

Hai pembaca. Perkenalkan namaku Aldona. Aku biasa dipanggil Bu Dona. Aku sudah menikah selama 10 tahun dan mempunyai 2 anak yang pintar. Keluarga kami keluarga bahagia. Kami juga keluarga cerdas. Aku sendiri bekerja sebagai seorang guru di sekolah swasta. 

"Bu Rini, gimana kuliahnya?" tanyaku pada bu Rini, teman kerjaku. Dia adalah seorang guru Matematika yang sekarang sedang mengambil gelar Magister dari sebuah universitas terkenal di kotaku.

"Baik-baik saja. Alhamdulillah," jawabnya dengan ceria.

"Kalau kuliah seperti itu, siapa yang menjaga anak-anaknya?" aku bertanya lagi. Aku dengar bu Rini selalu menitipkan anak-anaknya pada orang tua suaminya. Menurutku perbuatannya itu tidak bagus dan kurang terpuji. Bagaimana bisa dia meminta mertuanya untuk menjaga anak-anaknya sementara dia sendiri sibuk kuliah? Dasar wanita penuh ambisi.

"Ibu mertuaku yang menjaga mereka. Alhamdulillah punya mertua yang baik," jawab bu Rini dengan tersenyum. Aku tahu pasti dia berbohong. Mana ada mertua yang mau menjaga cucunya untuk ditinggal kuliah lagi.

"Oh ya? Beruntung sekali Bu Rini ini. Hebat ya ibu mertuanya. Dikasih uang enggak?" tanyaku lagi. Aku sengaja bertanya seperti itu supaya dia membuka siapa dirinya yang sesungguhnya. Pasti dibalik kesuksesan dan kepintarannya, tersembunyi sebuah kekurangan.

"Wah, kalau masalah ngasih uang, itu urusan suami saya, Bu. Yang jelas saya punya pembantu di tempat mertua supaya mereka tidak terlalu kerepotan dengan pekerjaan rumah tangga dan menjaga anak-anak," jawabnya dengan sok bijaksana. Mungkin di mata rekan-rekan kerja kami dia adalah sosok yang bijaksana. Tapi dia tidak akan pernah bisa menipuku. Aku yakin pembantu yang dia ceritakan itu memang pembantu mertuanya. Tidak mungkin bu Rini yang penuh ambisi dengan karir dan kuliah ini memikirkan mertuanya. Ayo Dona, berpikirlah. Dia tidak mungkin sesempurna itu. Pasti masih banyak kekurangan yang dia sembunyikan.

"Terus anak-anak bagaimana? Mereka apa enggak protes ditinggal terus?" aku bertanya lagi. Aku yakin meski dia cerdas, dia bukanlah ibu yang baik untuk anak-anaknya. Bagaimana dia mau menjadi ibu yang baik jika tiap pagi dia sudah berangkat bekerja, kemudian sorenya dia pergi ke perpustakaan kampus untuk mengerjakan tesisnya? Apalagi semester lalu ketika dia masih mengambil kuliah teori. Setiap hari pergi pagi, pulang malam. Itulah yang dia lakukan. Aku yakin suaminya tidak suka mempunyai isteri seperti dia.

"Ya, sebisa mungkin saya beri mereka pengertian. Sekarang target keluarga saya memang menyelesaikan studi saya dulu. Sejak awal, saya dan suami sudah sepakat bahwa kami harus mengembangkan diri. Alhamdulillah keluarga besar kami mendukung," jawabnya dengan ringan sambil tersenyum. Senyum yang dibuat-buat. Aku tahu kamu adalah ibu yang tidak perhatian pada anak-anakmu, Bu Rini!

Seminggu setelah percakapanku dengannya pada hari itu, aku jarang melihat dia di kantor. Kata guru piket, dia sedang terkena musibah. Anaknya yang besar tertabrak motor dan patah kakinya. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit swasta di kota kami. Aku sedih mendengar kabar, tapi di sisi lain aku senang. Akhirnya alam memberi tanda bahwa dia bukanlah ibu yang baik. Pasti ada sesuatu yang dia korbankan di balik kesuksesannya.

"Halo, Bu Rini. Aku turut bersedih ya. Katanya anaknya patah tulang ya?" tanyaku di telepon suatu hari.

"Iya. Makasih, Bu Dona. Iya nih, lagi kena musibah," jawabnya di seberang.

"Ya ampun. Gimana kejadiannya? Apa mertuanya lengah ya?" tanyaku ingin tahu.

"Ibu lagi membujuk si adik yang lagi rewel. Terus, si kakak lari ke jalan. Ya, memang sudah jatahnya kena musibah, Bu Dona. Aku ga bisa nyalahin beliau. Doakan aja ya," jawabnya.

"Iya, pasti aku doakan. Bu Rini yang sabar ya," kataku. Aku senang sekali akhirnya dia mendapatkan azab dari kelakuannya sebagai ibu yang tidak bertanggung jawab.

"Makasih ya, Bu Dona," jawabnya. Akhirnya kami mengakhiri obrolan kami.

Setelah menutup telepon, segera aku membuka aplikasi media sosial biru untuk menulis sebuah status. Kali ini aku akan menulis sedikit sindiran untuk bu Rini yang sok bijaksana itu.

"Itulah akibatnya jika sering meninggalkan anak sendirian. Jangan pernah meninggalkan anakmu sendirian. Don't ever leave your child alone," tulisku. Aku memang terbiasa memakai bahasa Inggris. Memang aku pandai. Tak lupa aku tambahkan tagar #selftalk supaya aku tidak terlihat sedang menyindir siapapun.

Setelah menemukan kalimat penting ini, aku segera mengirim statusku. Tidak sampai satu jam, ternyata banyak yang menyukai statusku. Aku tersenyum bahagia karena bisa memberikan inspirasi kepada ibu-ibu di daftar temanku. Kami juga saling berbalas komentar. Kita sebagai tidak boleh terlalu fokus mengejar karir. Kita harus ingat bahwa kita mempunyai anak-anak yang harus kita jaga. Aku yakin semua ibu yang bijak setuju dengan hal itu.

Ternyata, bu Rini ikut meninggalkan tanda suka di statusku. Apakah dia tidak sadar kalau aku sedang menyindir dia? Keterlaluan sekali! Aku yakin setelah ini dia akan menulis status tandingan. Dia itu orangnya kan sensitif. Oke, Bu Rini, aku tunggu statusmu!

Aku sudah lama menunggu, tapi bu Rini tidak segera menulis status. Dua hari berlalu, masih belum ada status darinya. Adalah tidak mungkin kalau dia tidak tersinggung dengan statusku. Tiap hari aku mengamati halaman dia, belum ada status yang dia tuliskan. Dasar ibu yang tidak tahu malu! Dia pasti menyesal anaknya kecelakaan karena keegoisannya sendiri.

"Alhamdulillah, udah boleh pulang. Cepat sembuh ya, kakak!" tulisnya di unggahan terbarunya. Akhirnya dia mengunggah status berupa swafoto bersama anak dan suaminya. Jadi, anaknya sudah boleh pulang setelah pemasangan gips dan harus dirawat di rumah sampai tulang kakinya sembuh benar.

Aku meninggalkan tanda suka di statusnya. Banyak teman kami yang melakukan hal yang sama dan memberi komentar yang simpatik. Mengapa mereka berkomentar baik semua? Mengapa tidak satupun dari mereka yang memberi nasihat supaya dia lebih memperhatikan anaknya? Tidakkah mereka melihat bahwa dia itu hanyalah ibu yang penuh ambisi dan tidak mau repot menjaga anaknya?

Beberapa bulan setelah peristiwa itu, aku mendengar bahwa bu Rini sudah berhasil menyelesaikan tesis dan melaksanakan ujiannya. Tesisnya mendapatkan nilai sempurna. Iyalah, dia mengerjakan semua itu dengan tanpa memikirkan anaknya yang sedang sakit. Dia itu tidak tahu apa artinya perjuangan, dasar ibu egois!

Suatu hari ada nasi kotak di meja kerjaku. Kata teman-temanku ini adalah syukuran dari Rini karena dia akhirnya diwisuda dengan predikat cum laude. Aku merasa gelisah hari itu. Apalagi, teman-teman terus memujinya.

"Bu Rini, Ibu adalah contoh dari guru berprestasi di sekolah kita ini. Semoga Bapak Ibu guru yang lain bisa meniru Ibu, ya" kata pak Bambang, kepala sekolah kami dengan bangga. Apakah dia tidak tahu jika demi mengejar prestasinya, bu Rini tega mengorbankan keluarganya? Heran aku, dimana mata hatinya? Jangan-jangan, dia naksir bu Rini. Aku sering melihat dia tersenyum jika mendengarkan wanita itu sedang berbicara.

"Terima kasih, Pak. Semua ini berkat dukungan dari sekolah dan rekan-rekan semuanya," jawabnya dengan ramah. Aku yakin dia hanya berpura-pura. Aku yakin di lubuk hatinya dia merasa hebat dan pintar.

"Alhamdulillah, ikut bahagia ya, Bu Rini. Pasti keluarga juga mendukung penuh ya," aku ikut menimpali percakapan mereka. Aku sengaja mengucapkan itu supaya dia yang tidak tahu diri itu sadar bahwa keberhasilannya ini tidak terlepas dari keluarganya.

"Iya, betul. Terima kasih, Bu Dona. Mereka sangat mendukung. Tanpa mereka, saya tidak mungkin mendapatkan anugrah seperti ini," jawabnya. Mengapa dia selalu menjawab kata-kataku dengan seperti itu? Mengapa dia tidak pernah menjelek-jelekkan orang lain? Aku yakin, semua ini dilaluinya dengan penuh perselisihan di keluarganya. Bu Rini, kamu tidak bisa menipuku! Aku pasti segera menemukan kelemahanmu!

Solo, 24 Juli 2020 


Salam santun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar