Mantenku

Mantenku

Jumat, 20 Januari 2017

Mbolang to Singapura

Halo, pembaca yang budiman. Ketemu lagi dengan saya, admin Catatan Harian. Biasanya saya bercerita tentang kehidupan saya yang ga jauh-jauh amat dari mengajar  karaoke. Sedikit berbeda, kali ini saya akan menceritakan pengalaman mbolang saya.


Sebenarnya saya bukan orang yang suka mbolang. Bagi saya yang dibesarkan di keluarga yang pas-pasan, main atau traveling itu hanya membuang uang. Namun, berawal dari terlanjur mempunyai passport untuk mengikuti sebuah conference di Kamboja (yang kemudian saya juga batal kesana karena pertimbangan biaya), terbersit rasa dalam hati untuk merasakan traveling ke luar negri.

Akhirnya, saya dipertemukan dengan group alumni Sastra Inggris 91 yang merencanakan traveling ke Singapura. Tanpa pikir panjang, saya melamar untuk ikut rombongan itu. Kebetulan di sana sudah ada dua rekan kerja saya, mbak Wuyi & mbak Vesi. Anggota group mbolang yang lain adalah mbak Yaning , mbak Atikah, & mbak Julie.

Berbagai macam persiapan sudah kami lakukan dengan dipandu oleh pak Adi, yang merupakan suami dari mbak Vesi. Pemesanan tiket pesawat & hotel dilakukan oleh mbak Yaning. Sebagai anggota mbolang yang termuda saya merasa senang sekali bisa nebeng ikut mbolang dengan banyak bantuan seperti ini. Rute kami adalah Solo-Batam-Singapura-Batam-Solo.

Akhirnya the D-day sudah tiba. Pada hari Kamis, 12 Januari 2017, setelah malamnya tidak bisa tidur menahan resah & gelisah, kami bertemu di bandara Adi Soemarmo. Saya sengaja tidak membawa air minum ketika itu, rencananya saya mau membeli air minum di Batam. Kami naik pesawat Lion Air pada puku 12.55 menuju ke Batam. Perjalanan selama 1 jam 45 menit kami lalui dengan lancar, meski saya sedikit merasa was-was karena ini adalah penerbangan pertama saya. Sekitar jam 15.00 (saya lupa tepatnya jam berapa), kami tiba di bandara Hang Nadim Batam. Bandara itu jauh lebih luas  better dari Solo hahahaaa.  Disana kami sudah ditunggu oleh pak Adi dengan mobilnya yang siap membawa kami ke pelabuhan Batam Center. Perjalanan ke pelabuhan memerlukan waktu sekitar 45 menit. Saya berpikir enak ya jadi orang Batam, bisa piknik ke Singapura kapan saja. 

Batam Center Point

Perjalanan dengan ferry dari Batam ke Singapore memerlukan waktu sekitar satu jam. Harga tiket ferry juga terjangkau, cukup Rp. 350.000,- untuk satu orang PP. Saat itu, kami memilih Majestic ferry atas rekomendasi dari pak Adi tentunya. Mbak Vesi & anaknya, Wira, tetap tinggal di Batam bersama pak Adi. Mereka berencana menyusul kami ke Singapore pada hari Sabtu. Ferry yang kami ambil termasuk bersih & bagus fasilitasnya meski bagi saya yang 'mabukkan' tetap membuat perut terasa dikocok-kocok. Well, beginilah kondisi kami di ferry. 


Setelah tiba di Harbor Front Singapore, kami segera bergegas menuju ruang imigrasi untuk pemerikasaan. Sebelum diperiksa, kami membuang permen karet yang kami bawa karena Singapore forbids it. Saya ditanya oleh petugas imigrasi beberapa hal teknis, seperti, "Mau berapa hari di Singapore? Menginap dimana? Tahu jalan kesana?" Bahkan sampai "Bawa uang belanja berapa?" juga ditanyakan. Mungkin karena tampang saya ngenes hahahahaaa. 

Akhirnya proses di imigrasi selesai & kami langsung menuju stasiun MRT di Harbor Front bagian subway tentunya. Singapore adalah negara yang efektif sistem transportasinya; selalu ada stasiun MRT di semua tempat penting. Kami membeli tiket EZ Link untuk 3-day pass sebesar SGD 32. Petualangan pun dimulai... Jreng jreng...

Kami mencari tangga escalator menuju ke atas (dari subway) dan mencari bus. Dari hasil bertanya, kami menemukan jalur bus menuju Henderson Waves. Cara membayar bus ini cukup dengan kartu EZ Link tadi ya. Handerson Waves adalah jembatan yang tinggi, terbuat dari kayu, dengan desain yang unik seperti gelombang. Dari jembatan ini kita bisa memandang keindahan Singapura. Sampai di sana, kami agak terkejut karena jalur paling cepat untuk naik ke jembatan adalah dengan naik anak tanggal yang jumlahnya sebanyak 135. Dengan ngos-ngosan, sambil membawa dosa hahahaa...maksud saya membawa seluruh barang bawaan kami, kamipun naik ke atas.


Akhirnya sampai juga...nglesot dulu
Pemandangan gemerlapnya Singapore di malam hari
Mbak Julie & uniknya desain Henderson Waves
Ada beberapa pasang muda-mudi yang bercengkerama menghabiskan waktu di tempat ini. Banyak pula warga Singapore yang berolahraga meski suasana sudah malam (sekitar jam 20.00 waktu setempat).

Setelah puas menikmati pemandangan & mengeringkan keringat, kami turun dari jembatan untuk melanjutkan perjalanan. Kami naik bus lagi dari Henderson menuju Little India, dimana, kami berencana untuk makan malam. Ternyata daerah itu ramai sekali & tidak sebersih tempat di Singapore yang lain. Terbukti dengan saya terpeleset sampah plastik ketika sedang berjalan. Kami menuju ke Tekka Center untuk mencari makanan halal. Setelah browsing tempat akhirnya kami memilih memesan nasi briyani & mihun goreng. Dengan harga yang lumayan terjangkau (SGD 9 untuk dua makanan tadi), makanan ini sudah cukup untuk berlima. Bisa dibayangkan besarnya porsinya ya? Soal minuman, tidak perlu khawatir. Banyak sekali penjual minuman disini dengan aneka pilihan yang menawarkan harga mulai dari SGD 1. Sayang, kami tidak mengambil gambar di sini. 

Waktu semakin malam & kamipun semakin merasa capek. Kami naik taksi dari Tekka Center menuju ke Pine hostel yang terletak di Tyrwitt Road. Satu taksi kira-kira memerlukan biaya sekitar SGD 6-7. Kami tiba di hostel pada waktu menjelang tengah malam. Setelah check in, melakukan pembayaran, kami mandi satu-persatu. Beruntung sekali ada fasilitas air hangat yang memudahkan kami. Saya menjamak sholat magrib & isya'. 

Pine Hostel

Kamar di Pine hostel yang berupa dormitory
Pine hostel ini merupakan sejenis dormitory (asrama). Satu kamar mempunyai fasilitas 10 beds. Beruntungnya kami karena selama dua malam menginap disana, tidak ada tamu lain selain kami di kamar ini, jadi kamar ini hanya menjadi milik kami berlima hohoo. 

Day 2

Hari kedua dibuka dengan sarapan. Well, hostel yang kami tempati menyediakan simple breakfast  berupa roti bakar dengan berbagai macam pilihan selai. Ternyata ada penghuni hostel lain yang berasal dari Indonesia. Saya berkenalan dengan salah satu dari mereka. Mereka membawa mie cup dari Indonesia. Wah, ide yang bagus, pikir saya. Lain kali kalau liburan ke luar negeri harus membawa mie instant cup.

Selesai sarapan, kami langsung meninggalkan hotel, berjalan menuju Horne Road. Tinggal di Singapore ini nyaman sekali; jika kita ingin ke mana-mana, tinggal mencari jalan menuju MRT station yang banyak sekali di sana. Naik MRT ini sangat menyenangkan; berupa kereta bawah tanah yang membawa kita ke tempat tujuan. Jika kita ingin pindah jalur, tinggal berhenti di stasiun lain untuk ganti MRT. Cara bayarnya tinggal pakai kartu tadi. Lorong-lorong MRT di bawah tanah, tapi jangan membayangkan terowongan yang sumpek atau bau macam tempat kita ya hihiii. Di Singapore ini, di bawah tanah terang benderang dan sejuk seperti mall.

Tujuan kami yang pertama adalah Sentosa Island. Di sana kami tidak masuk ke wahana apapun karena berbayar mahal ya. Kami cuma foto-foto di depan Universal Studio dan di depan toko serba permen "Candylicious". Meskipun tidak masuk, alias cuma di luarnya saja, kami sudah cukup puas. Tempatnya sangat bersih & keren.

Berikutnya kami menuju ke Merlion; di sana patung "singo muntah banyu" menunggu kami. Banyak wisatawan asing, termasuk dari Indonesia  dan negara barat. Beberapa rombongan berpose & ber-yellyell, memudahkan kami untuk mengenali bahwa mereka adalah orang Indonesia.

Setelah Merlion, tempat berikutnya adalah Garden by the Bay. Namun sayang, suasana sudah siang menjelang sore. Saya mulai gelisah karena ingin sekali melaksanakan sholat tapi tidak tahu dimana. Kebetulan mbak Yaning sedang sakit sehingga kami memisahkan diri dari rombongan. Kami pulang ke hostel dengan taksi.

Setelah istirahat di hostel selama beberapa jam, kami mengontak kakak-kakak lain yang sedang menuju Bugis street. Kami pun menuju kesana dengan MRT. Di sana kami bertemu dengan rombongan lagi untuk berbelanja. Bugis street ini adalah semacam pasar cendera mata. Banyak barang-barang khas Singapura, seperti gantungan kunci, tas, coklat dll dijual dengan harga miring. Untuk gantungan kunci cukup dengan SGD 10, Anda bisa mendapatkan 24 biji. Untuk tas SGD 10 untuk 4-5 goody bag bertuliskan Singapore.

Day 3

Kami berjalan menuju Mustafa Center. Mustafa Center adalah pusat perbelanjaan dimana (I’ll say) semua barang ada. Barang dari Indonesia ada, dari India ada, dari mana-mana ada. Mulai dari ikan salmon, beras basmati, kacang-kacangan, sampai segala macam balsem ada. Di sana kami juga menyempatkan diri untuk makan siang di rumah makan Indonesia. Saya memesan nasi soto yang rasanya lumayan masuk ke lidah saya. Di sekitar daerah itu, rata-rata rumah makannya Moslem-friendly, ada banyak pilihan halal food.

Kami berjalan pulang sambil berfoto-foto di jalan & taman. Setibanya di hostel, kami packing barang-barang kami. Sedih sekali rasanya; berat hati ini meninggalkan negara itu. But, we had to go. Mas Indian guy penjaga hostel membantu kami memesan taksi menuju Vivo untuk naik ferry ke pulau Batam. Di perjalanan, kami menyempatkan diri untuk mampir sebentar ke China Town. Saya membeli beberapa cendera mata khas Cina.

Akhirnya mbolang to Singapore harus diakhiri. Kami menyeberang selat dengan ferry menuju pulau Batam. Setibanya di Batam, saya merasa sedih sekali karena bertemu dengan suasana khas Indonesia; banyak mobil dimana-mana, padat, semrawut, tidak teratur dll. Di Batam kami stay di hotel, namun fasilitasnya sangat jauh di bawah hostelnya Singapura.

Kesan saya tentang Singapura:

Plus bagi saya (+)
  1. Singapura adalah negara maju yang dekat sekali dari Indonesia (hanya 1 jam) dengan kondisi yang sangat berbeda. Banyak gedung-gedung tinggi modern dan fasilitas-fasilitas yang serba canggih & memudahkan. 
  2. Singapura bersih. Tidak ada sampah di jalan (kecuali waktu saya terpeleset sampah plastik di Tekka center).
  3. Air kran bisa diminum. Jadi benar-benar saving money untuk beli minum.
  4. Penduduk Singapura baik & ramah kepada orang asing. Beberapa kali kami terlihat saling bergantian saling memotret, ada orang Singapura yang berbaik hati berkata, “Let me take the picture for you.” Mereka senang membantu pengunjung. Bahkan ada yang mengantar kami berjalan jauh mencari rumah makan halal.
  5. Penduduk Singapura rapi & taat peraturan. Hal ini terlihat dalam bus ataupun MRT. Setiap kali ada lansia baru naik kendaraan, pasti akan ada anak muda yang spontan berdiri memberikan kursinya pada lansia tersebut. Hal itu seperti sudah menjadi kebiasaan & dilakukan dengan tanpa keraguan. Mereka juga rapi ketika naik escalator; semua ada di pinggir kiri. Pinggir kanan hanya digunakan jika ada yang terburu-buru berjalan cepat. Semua serba rapi. MasyaAllah, dalam hal ini kita harus belajar dari mereka.
  6. Tidak ada kendaraan ngebut di jalan (ini ni yang wajib kita tiru). Semua berjalan dengan kecepatan konstant dan tidak saling mendahului. Bahkan ketika kami kebingungan menyeberang jalan, pengemudi mobil akan berhenti dan mempersilahkan kami menyeberang terlebih dahulu.
  7. Saya melihat sebuah kuil di dekat hostel yang setiap hari dikunjungi banyak orang untuk berdoa. Di sana juga ada gereja. Jadi, saya asumsikan penduduk Singapura rajin beribadah (meski mungkin tidak semua). Ada masjid juga di sana (di daerah Arab street), tapi kami tidak sempat mengunjungi karena waktu yang terbatas. Yang jelas, orang Singapura tidak asing dengan Islam & tahu seperti apa makanan halal itu. 
  8. Satu hal yang paling mempesona adalah orang difabel (different ability) bisa berjalan-jalan sendiri kemana saja (dengan kursi roda). Tidak sulit bagi mereka untuk traveling sendiri, menuju stasiun MRT, & menggunakan fasilitas lain tanpa bantuan orang lain karena semua fasilitas sudah diffable-friendly. So wonderful!

Minus bagi saya (-)
  1. Agak sulit mencari tempat sholat & makan (mungkin juga karena tidak hapal daerahnya ya). Tidak seperti di Indonesia; mushola ada di mana-mana (makanya hari ke-2 saya tidak ikut ke Garden by the Bay demi pulang ke hostel untuk sholat). Untuk makanan juga harus mencari ke daerah tertentu, seperti Tekka Center atau di dekat Mustafa Center yang terjamin kehalalannya. Ada banyak orang Indonesia yang membuka rumah makan di sana, hanya saja kami tidak hapal daerahnya.  
  2. Di Singapura, banyak notice untuk tidak membuat keramaian. Jadi tidak ada orang ngobrol di jalan just the way we do in our country. Kebanyakan dari mereka berjalan cepat dengan earphone terpasang di telinga & tangan yang selalu memegang HP. Demikian pula di dalam kendaraan umum. Jika mereka tidak memakai earphone & HP, mereka tetap diam & tidak saling menyapa. Jadi kalau ada orang-orang ngobrol (apalagi yang pakai yell-yell), biasanya orang Indonesia hehe.
  3. Makanan khas Indonesia di sana jauh dari cita rasa Indonesia. Misalnya, ketika saya memesan mi rebus, saya membayangkan mi dengan kuah bening & sayuran. Ternyata yang saya dapatkan adalah mi dengan kuah kental yang rasanya seperti jamu. Begitu selesai makan, rasanya seperti mau muntah. 
  4. Harga-harga jika dikonversikan ke rupiah akan terasa mahal. Untuk makan misalnya kita harus merogoh kantong paling tidak 5 SGD (kira-kira 50 ribu). Saya melirik harga makanan di restoran besar mencapai SGD 26. WOW. Tas kecil ditawarkan SGD 50 (500 ribu).



Demikian catatan perjalanan saya. Saya bersyukur sekali diberi kesempatan oleh Allah untuk mengunjungi negara ini. Terima kasih pada group Sastra Inggris 1991 (Mbak Wuyi, Mbak Vesi, Mbak Julie, Mbak Atikah, & Pak Adi). 

Saya berharap negara kita bisa mengikuti kemajuan negara tetangga ini dalam hal fasilitas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar