Mantenku

Mantenku

Rabu, 28 Mei 2014

Pacaran, Boleh enggak sih?

Suatu siang di kelas yang "extraordinary"

Siang ini pelajaran Bahasa Indonesia terasa sejuk & damai. Beberapa bangku siswa kosong karena penghuninya tidak masuk. Beberapa siswa sedang dipanggil guru-guru lain untuk menyelesaikan persoalan & mendapatkan pembinaan. Siswa-siswi yang berada di kelas kebanyakan siswa yang anteng & rajin belajar. Saking tenangnya sampai bu guru yang cantik ini bilang, "Enak ya kalau pelajaran siswanya sedikit seperti ini terus?" 

Siswa-siswa pun menyambut pertanyaan tadi dengan jawaban yang tak kalah seru, "Iya Bu, enak sekali."
Seorang siswi memanggil saya, "Bu, maaf Bu, kesini sebentar. Itu tangannya Wati (nama samaran) ada tulisannya."

"Ya," I said.

Sebenarnya, kalau mau jujur, deep in my heart, saya tidak terlalu peduli di tangannya itu mau ada tulisan apa, yang jelas ketika pelajaran, ikutilah pelajaran dengan baik. Tapi karena ada siswi yang melaporkan, ya bagaimanapun juga harus ditanggapi ya. 

"Wati, tanganmu itu kok ada tulisannya? Sini ibu lihat," I said to Wati.

"Enggak kok, Bu," Wati menjawab sambil mengusap-usap tulisan itu diiringi sorakan dari teman-temannya.

"Itu nama pacarnya, Bu," some students said while laughing at Wati.

"Oh, sudah punya pacar to?" bu guru cantik pura-pura kaget. 

Siswi ini memang lumayan lebih cantik dibanding teman-temanya. Wajahnya bersih, plus agak tebel, kelihatan sekali kalau dia memakai foundation. Bajunya kecil (gimana njahitnya dulu ya), plus roknya di atas lutut, kelihatan sekali kalau dipendekkin dengan jahitan tangan. Cara duduknya amboyyyy... agak kedewasa-dewasaan gitu deh. Kukunya panjang and ujungnya udah dibentuk melengkung, keliatan banget kalau rajin merawat kuku (sendiri lho ya, coz keliatan bukan perawatan salon). 

"What should I say now?" saya pikir. Di satu sisi anak itu harus "diselamatkan". Tapi, di sisi lain siswa-siswi lain sudah bersorak-sorak seakan mensyukuri keadaan mereka yang masih jomblo sambil memandang Wati dengan pandangan miring. Apa diamkan saja, toh bukan urusan kita. Well, ingat Manda, menentang dalam hati saja sudah selemah-lemahnya iman. Do something itu jauh lebih terhormat. Lagipula, saling mengingatkan dalam kebaikan itu berpahala, isn't it? Cling! Akhirnya nemu ide.

Gambar hasil googling, hehee

"Anak-anak, perempuan suka pada laki-laki, dan laki-laki suka pada wanita. Itu sudah fitrahnya. Saya happy mendengarnya," mulai deh building knowledge of field nya. Hehee...

"Yang ga boleh itu laki-laki suka pada anak laki-laki juga. Yang cewek suka sesama cewek juga. Itu yang ga boleh. Kalau ga boleh suka sama laki-laki, bu Manda juga ga mungkin punya suami dong," my further explanation diiringi sorakan & tawa dari siswa. 

"Tapi, kalian itu masih terlalu kecil untuk punya pacar. Belum boleh. Jadi boleh aja menyukai teman, tapi jangan sampai dijadikan pacar. Disimpan aja dalam hati," I said to them repeatedly. Boleh kan suka sama orang? Boleh saja. Saya aja udah belasan kali naksir cowok semasa sekolah hahaha....

"Pacaran itu boleh enggak?" I asked them

"Boleh kalau sudah besar," they answered together.

"Oke deh, tapi sebenarnya nggak boleh ya. Kalau dicocokkan dengan dasar hukum agama kita, hasilnya nggak boleh," mulai deh masuk ke the core of the long long speech

"Jadi seorang laki-laki itu tidak boleh bersentuhan dengan wanita. Jangankan bersentuhan, berduaan saja itu nggak boleh. Itu perbuatan yang disukai setan," tambah mantep ni bu guru.

"Aku nggak pernah kok,"
"Aku juga enggak,"
"Waaa...bohong," murid-murid saling menimpali.

Akhirnya pelajaran itu jadi kuliah kepribadian deh... ya gapapa ya nak, kan sambil mengerjakan latihan soal. 

Kalau ingat tentang kata pacaran, jadi menyesal deh, kenapa dulu sampai jatuh ke jurang pacaran ya? Pertama semasa SMA (maklum jaman ini saya masih jahiliyah sekali). Sampai nilai rapor kena imbasnya. Beruntung sekali waktu kelas 3, si pacar sudah pergi jauh, jadi bisa mengejar segala ketertinggalan sampai jadi juara umum jurusan IPS di catur wulan ke-3 (maaf, bukan sombong lho ya). Masa kelas 3 ini saya sudah agak tertata, sudah pakai jilbab & rajin langganan Annida. Cerpen-cerpen Annida lah yang banyak membuka mata saya, plus mengamati cara bergaul & bertutur kata teman-teman yang lebih dulu berjilbab. Kagum banget saya (Yuh, ketahuan deh. Mbak-mbak temanku, daku dulu mengamati kalian).

Masa kuliah sudah saya niatkan ga mau pacaran lagi. Tapi ya masih aja naksir belasan orang yang lain lagi (maklum ya, I'm a normal woman...untung ga naksir cewek, bisa heboh sekos-kosan). 

Nah waktu ketemu si my husband at the first meeting ni, di sebuah SMK, rasanya kayak mendengar lagunya Savage Garden "I knew I loved you before I met you, I have been waiting all my life". Konon, kalau ketemu jodohnya ini seperti sudah melihat masa depan nanti dia bakalan jadi pendamping hidup. Akhirnya seneng banget sama mas-mas yang ini. Gayung pun bersambut, ternyata dia juga suka. 

****Mengalun musik: My love....there's only you in my life...******

Baru kenal dekat 2 minggu, akhirnya udah diajak married. Yeah I knew that having relationship is forbidden. But, to get married in a very young age? My parents would not agree with the idea. Akhirnya benar juga, ortu saya & ortu dia tidak setuju (Iyalah, masih sama2 kuliah sem 7, belum ada yang kerja, mau menikah? Hello??)

Akhirnya jalan deh hampir 3 tahun tapi kalau ketemuan paling makan di warung. Malu deh kalau sekarang ditanya orang, "Dulu kenalannya gimana? Ta'aruf ya?"

Pasti deh saya jawab, "Enggak. Kami dulu pacaran kok," diiringi senggolan dari my hubby. Abis gimana papah, masak mau bohong?

Naufal & Filza, kalau kalian nanti harus better than us ya...ga boleh pacaran. Okey? Heheehee...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar